Rabu, 30 September 2015

Teologi Ketuhanan Dalam Beragama Menurut Al-Ma'un

BAB II
PEMBAHASAN

A.    DISKURSUS TEOLOGI AL-MAUN
   Islam adalah agama yang sangat menghargai kesetaraan. Islam menolak stratifikasi sosial-ekonomis, yang berarti meminggirkan orang miskin dan anak yatim dalam sistem sosial yang bertingkat. Anak yatim adalah mereka yang malang, tak mampu mengelak dari takdir bahwa kasih-sayang yang ia terima akan jauh, disebabkan oleh ayah dan ibu mereka yang telah tiada. Atau, tidak memberi porsi perhatian kasih-sayang pada kita.  Dalam hal ini, surah Al-maun menjelaskan orang yang mendustakan agama adalah orang menghardik anak yatim.

   Al-Maun dibuka dengan sebuah pertanyaan lebih tepatnya sindiran: Tahukah engkau dengan para pendusta agama? Frase yang digunakan oleh Al-Qur'an terasa sangat menjolok: "pendusta agama". Kita tentu akan penasaran: siapakah mereka yang dihardik menurut Al-Qur'an dengan ungkapan "pendusta agama" itu?

                                                                
                                                                     
Artinya : Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?(1) Yaitu orang yang menghardik anak yatim(2). Q.S Al-Ma’un: 1-2

   Didalam surah Al ma’un sudah dijelaskan bahwa org yg menghardik anak yatim termasuk pendusta agama.
                                                                          
Artinya : Dan menolak memberi makan org miskin. Q.S Al-Ma’un : 3
   Buya Hamka memberi tafsir atas ayat ini dengan kata "menolakkan". Di  dalam ayat kedua  tertulis yadu'-'u  (dengan tasydid), artinya yang asal ialah menolak. Kata tersebut ditafsirkan orang lain dengan "menghardik" atau sejenisnya, tetapi kata Hamka yang lebih tepat adalah "menolakkan". Kata "menolak" itu bermakna  membayangkan kebencian yang sangat.
   Artinya, jika seseorang merasa benci dengan anak yatim karena keyatimannya, berarti ia mendustakan agama. Sebabnya ialah rasa sombong dan rasa bakhil, menurut Hamka. Membenci anak yatim berarti membenci keber-asal-an Nabi Muhammad. Sebab, Nabi adalah anak yatim, yang dipinggirkan oleh keluarganya, hidup dengan menggembala, berkutat dengan kemiskinan di masa kecilnya.
   Dalam hal ini juga di jelaskan dalam surah al-baqarah :
               
Artinya : Adapun orang-orang kafir yang mendustakan ayat-ayat kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal didalamnya. Q.S Al- Baqarah : 39

   Dalam ayat diatas juga di jelaskan bahwa 1orang pendusta sama dengan orang kafir. Berarti orang yang mendustakan ataupun yang menghardik anak yatim serta menolak memberi makan org miskin termasuk lah mereka ke golongan orang-orang kafir. Menghardik anak yatim adalah refleksi kesombongan-diri. Merasa diri lebih baik. Dan Allah menolak kesombongan. Oleh sebab itu, mereka yang sombong dan bakhil -seperti kata Hamka- dengan menghardik anak yatim sebagai simbolisasi, patut diucap sebagai "pendusta agama".
   Ayat selanjutnya menjelaskan mengenai "menolak memberi makan orang miskin". Ini juga penting sebab mengindikasikan adanya distribusi kekayaan di antara umat Islam. Mereka yang menolak menyalurkan kekayaannya untuk orang miskin termasuk yang mendustakan agama.  Karena dia mengaku menyembah Tuhan,padahal hamba Tuhan tidak diberinya pertolongan dan tidak dipedulikannya.

Dalam surah al-hujurat ayat 13 yang berbunyi :
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungghuhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Q.S Al-Hujurat:13
   Dalam surah diatas, dijelaskan bahwa kedudukan semua manusia antara laki-laki maupun perempuan itu sama di mata Allah. Namun orang yang mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.
   Implikasi dari tauhid adalah menegakkan keadilan di segala bidang. Al-Ma'un bicara soal ekonomi. Mereka yang menolak memberi makan orang miskin, padahal ia memiliki harta-benda yang bisa meringankan penderitaan orang miskin. Mereka yang kemudian menolak mendistribusikan kekayaannya dengan tidak mau memberi makan orang miskin, berarti menolak visi keadilan yang Islam tawarkan.
   2Az-Zamakhsyari menulis dalam tafsimya, mengapa orang yang menolak memberi makan orang miskin dan menolak anak yatim dikatakan mendustakan agama. Kata beliau:  "Orang ini nyata mendustakan agama.  Karena dalam  sikap dan  laku perangainya dia mempertunjukkan bahwa dia tidak percaya inti agama yang sejati, yaitu bahwa orang yang menolongsesamanya yang lemah akan diberi pahala dan ganjaran mulia oleh Allah. Sebab itu dia tidak mau ber­buat ma'ruf dan sampai hati menyakiti orang yang lemah".


   Menolak memberi makan orang miskin adalah cermin dari mereka yang zalim, menindas orang lain. Al-Qur'an sendiri melarang kezaliman, melarang penindasan manusia atas manusia. Jelas, pesan dari ayat ini adalah menentang penindasan dengan perbuatan menolak memberi makan orang miskin, menghalangi haknya untuk tetap hidup dan mendapatkan makanan yang layak.
   Ayat berikutnya, dengan lebih lantang, mengatakan pada kita: “Maka celakalah orang-orang yang salat!”. Bagaimana mungkin, pengabdian seorang muslim, melalui shalatnya kepada Allah, disebut sebagai perbuatan yang tidak hanya sia-sia, tapi juga mencelakakan?
                                                                                                      
                                                                  
Artinya: Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat(4). (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya(5). Q.S Al-Maa’un : 4-5
   Buya Hamka menafsirkan bahwa "lalai" berarti shalat tanpa diikuti oleh kesadaran sebagai hamba Allah. Kata Buya Hamka: "Saahuun; asal arti katanya ialah lupa. Artinya dilupakannya apa maksud sembahyang itu, tidak didasarkan atas pengabdian kepada Allah, walau ia mengerjakan ibadah. Ibadah tanpa kesadaran, adalah sebuah kelalaian, begitu tafsir Buya Hamka. Kesadaran penting, manakala kita melakukan pengamalan atas niat beribadah itu.
Dalam surah al-ankabut ayat 45 yang berbunyi :
Artinya: Bacalah apa yang telah di wahyukan kepadamu, yaitu alqur’an dan dirikanlah shalat. Sesunngguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Dan sesungguhnya mengingat Allah(Shalat) adalah lebih besar keutamaan nya dari pada ibadah-ibadah lain. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Q.S Al-Ankabut : 45
   Dalam surah al-ankabut ayat 45 di atas, di jelaskan bahwa sesungguhnya melaksanakan shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Kaitannya jika ibadah tanpa kesadaran bisa saja tergolong membuat perbuatan keji dan mungkar.
                                                                                                       
                                                                                                        
                                                                                                        
Artinya:  Orang-orang yang berbuat riya (6). Dan enggan menolong (dengan barang yang berguna)(7). Q.S Al-Maa’uun : 6-7
   Mereka yang berbuat riya' berarti menodakan niat ikhlasnya pada sesuatu yang bukan pada Allah menisbatkan sesuatu yang seharusnya dipersembahkan pada Allah -shalat, ibadah justru kepada benda ciptaan Allah. Shalat dalam kerangka ini hanya membawa kecelakaan. Kata Buya Hamka, kadang-kadang dia menganjurkan memberi makan fakir miskin, kadang-kadang kelihatan dia khusyu' sembahyang; tetapi semuanya itu dikerjakannya karena ingin dilihat, dijadikan reklame. Dalam bahasa yang lebih moderen, shalat hanya dijadikan citra untuk kekuasaan, untuk amal keduniaan.
   Menolak memberi pertolongan adalah bentuk kezaliman yang lain lagi. Orang-orang yang mendustakan agama selalu mengelakkan dari menolong. Sebab, kata Buya Hamka, tidak ada rasa cinta di dalam hatinya. Yang ada ialah rasa benci! Memberi pertolongan adalah wujud kemanusiaan. Dan menolak memberi pertolongan, membiarkan orang lain dalam kesusahan, melawan hakikat kemanusiaan.
   Riya', kata Buya Hamka, adalah simbol kebohongan dan kepalsuan, sementara menolak memberi bantuan adalah simbol individualisme dan kezaliman. Dua-duanya, adalah refleksi pendusta-pendusta agama. Sehingga, wajar jika Sayyid Quthb dalam tafsirnya menyebut bahwa Al-Ma'un memperlambangkan pertemuan dimensi sosial dan ritual agama. Ini menunjukkan bahwa agama pada hakikatnya bersifat transformatif, mewujud ke seluruh sel-sel kehidupan nyata.

B.     TEOLOGI AL-MA’UN
   Surah Al-Ma'un memberikan pesan yang mendalam bagi kita untuk tidak melupakan realitas kemanusiaan, tidak melupakan orang-orang miskin, anak-anak yatim, mereka yang perlu pertolongan, mereka yang terpinggirkan. Mengamalkan surah Al-Ma'un bukan berarti hanya membaca ayat ini berulang-ulang, di shalat-shalat fardhu, ketika sedang ber-tadarrus Al-Qur'an. Mengamalkan Al-Ma'un berarti mendudukkan ayat ini dalam praksis tindakan.
   Dengan ayat ini, Islam menjadi hidup tidak hanya pada tataran ritual, tetapi juga pada tataran sosial. Islam menjadi bersifat dinamis, transformatif. Ia bukan hanya prasasti yang hanya berisikan tulisan-tulisan yang hanya dibaca oleh orang-seorang, tetapi juga hidup sebagai etika sosial.
   Seperti kata Nabi, "ad-diinu nashihah". Agama adalah nasehat! Al-Ma'un memberi sebuah penyemangat untuk terus mendudukkan Islam dalam posisinya yang dinamis, di atas intelektual-sosial-kritis. Teologi Kritis Al-Ma'un ingin menghidupkan kembali semangat agama yang membebaskan dan mencerahkan, dalam realitas sosial secara nyata. Di awal kelahirannya, Islam dilanda gersang akan ijtihad dan dobrakan amal sosial. Syekh Muhammad Abduh sampai mengatakan, "Al-Islam mahjuubun bil muslimin". Islam itu tertutup oleh kaum muslimin itu sendiri.
   Teologi Al-Ma'un menginspirasi perkembangan sebuah gerakan sosial Islam. Al-Ma'un menjadi panduan praksis gerakan sosial Islam. Sebuah ayat yang menyindir para kapitalis, yang hanya mementingkan diri untuk kapital semata. Jika engkau ingin menindas orang lain, dalam praktik-praktik akumulasi modal dan motif ekonomi, sesungguhnya: engkau adalah pendusta agama! Sebuah kritik tajam kepada pemodal yang tak memedulikan lingkungan sosialnya. Al-Ma'un adalah inspirasi intelektual yang kritis. Menjadi intelektual Al-Ma'un berarti menjadi intelektual yang memiliki keberpihakan kepada kaum tertindas, bukan menjadi mereka yang hanya melegitimasi sistem korup. Inilah potret intelektual , intelektual yang punya keberpihakan terhadap anak yatim, orang-orang miskin, dan mereka yang terpinggirkan dengan alat baca sosial yang kritis.
   3Semangat intelektualisme dalam bingkai teologi Al-Ma'un dapat kita baca dalam kerangka berpikir Prof. Kuntowijoyo: bahwa Ilmu sosial tidak berhenti hanya pada upaya menjelaskan fenomena sosial. Ilmu Sosial etik, Ilmu Sosial Al-Ma'un, berarti juga setidaknya memiliki dimensi kritis, mampu meletakkan diri dengan keberpihakan kepada mereka yang terpinggirkan oleh struktur sosial-politik, serta membongkar realitas secara menyeluruh.
  4 Teologi Al-Ma'un juga perlu dimaknai dalam kerangka struktural, sebab penindasan itu juga bersifat struktural. Upaya-upaya pembelaan perlu digalakkan melalui masyarakat sipil dengan advokasi dan pemberdayaannya. Teologi Al-Ma'un berarti advokasi atau disebut juga pembelaan atas hak-hak masyarakat yang terlupakan oleh negara.
   Dalam konteks gerakan sosial, Al-Ma'un harus terus didukung oleh gerakan-gerakan Islam sebagai sebuah fondasi teologis. Inilah yang membuat agama hidup. Agama secara normatif bukan sekadar ritual yang mengalienasi manusia dari realitas sosialnya, bukan juga candu bagi rakyat, melainkan juga semangat juang dan semangat untuk membebaskan dhu'afa dari ketertindasan.
   Inilah teologi Al-Ma'un, landasan bagi gerakan sosial Islam. Dan dimensinya yang universal menembus batas jama'ah, menembus batas ormas, bahkan menembus batas-batas agama. 



3Syahminan zaini,Drs. 1981. Perjanjian Ketuhanan.hlm167
4Yunan yusuf, M, Prof, Dr. 1972. Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam..hlm 73









BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
   Surah Al-Ma'un memberikan pesan yang mendalam bagi kita untuk tidak melupakan realitas kemanusiaan, tidak melupakan orang-orang miskin, anak-anak yatim, mereka yang perlu pertolongan, mereka yang terpinggirkan. Surah Al-Maun mengajak kita untuk saling bergotong royong dalam hal dunia maupun akhirat. Begitu juga hal nya dalam masalah kehidupan, arti kehidupan itu sendiri di maknai dalam surah Al-Ma’un. Bahwa kita sesama manusia harus saling tarik menarik dalam menuju ketaqwaan kepada-Nya.

B.     SARAN
   Lihatlah orang diatas kamu agar kamu lebih termotivasi untuk meraihnya. Dan kemudian jangan lupa lihatlah orang yang berada dibawah kamu agar kamu lebih bersyukur.




























DAFTAR PUSTAKA

Syahminan zaini,Drs. 1981. Perjanjian Ketuhanan. Jakarta. Usaha Offset Printing.
Izutsu Toshika. 1966. Etika Beragama Dalam Al-Qur’an. Jakarta. Pustaka Firdaus.
Yunan yusuf, M, Prof, Dr. 1972. Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam. Malang. Raja Grafindo.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar