BAB
II
PEMBAHASAN
A. DISKURSUS
TEOLOGI AL-MAUN
Islam adalah agama yang sangat menghargai
kesetaraan. Islam menolak stratifikasi sosial-ekonomis, yang berarti
meminggirkan orang miskin dan anak yatim dalam sistem sosial yang bertingkat.
Anak yatim adalah mereka yang malang, tak mampu mengelak dari takdir bahwa
kasih-sayang yang ia terima akan jauh, disebabkan oleh ayah dan ibu mereka yang
telah tiada. Atau, tidak memberi porsi perhatian kasih-sayang pada kita. Dalam hal ini, surah Al-maun menjelaskan orang
yang mendustakan agama adalah orang menghardik anak yatim.
Al-Maun dibuka dengan sebuah pertanyaan lebih
tepatnya sindiran: Tahukah engkau dengan para pendusta agama? Frase yang
digunakan oleh Al-Qur'an terasa sangat menjolok: "pendusta agama".
Kita tentu akan penasaran: siapakah mereka yang dihardik menurut Al-Qur'an
dengan ungkapan "pendusta agama" itu?


Artinya
: Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?(1) Yaitu orang yang menghardik
anak yatim(2). Q.S Al-Ma’un: 1-2
Didalam surah Al ma’un sudah dijelaskan
bahwa org yg menghardik anak yatim termasuk pendusta agama.

Artinya
: Dan menolak memberi makan org miskin. Q.S Al-Ma’un : 3
Buya Hamka memberi tafsir atas ayat ini
dengan kata "menolakkan". Di dalam ayat kedua
tertulis yadu'-'u (dengan tasydid), artinya yang asal ialah
menolak. Kata tersebut ditafsirkan orang lain dengan "menghardik"
atau sejenisnya, tetapi kata Hamka yang lebih tepat adalah
"menolakkan". Kata "menolak" itu bermakna
membayangkan kebencian yang sangat.
Artinya, jika seseorang merasa benci dengan
anak yatim karena keyatimannya, berarti ia mendustakan agama. Sebabnya ialah
rasa sombong dan rasa bakhil, menurut Hamka. Membenci anak yatim berarti
membenci keber-asal-an Nabi Muhammad. Sebab, Nabi adalah anak yatim, yang
dipinggirkan oleh keluarganya, hidup dengan menggembala, berkutat dengan
kemiskinan di masa kecilnya.
Dalam hal ini juga di jelaskan dalam surah
al-baqarah :

Artinya
: Adapun orang-orang kafir yang mendustakan ayat-ayat kami, mereka itu penghuni
neraka, mereka kekal didalamnya. Q.S Al- Baqarah : 39
Dalam ayat diatas juga di jelaskan bahwa 1orang
pendusta sama dengan orang kafir. Berarti orang yang mendustakan ataupun yang
menghardik anak yatim serta menolak memberi makan org miskin termasuk lah
mereka ke golongan orang-orang kafir. Menghardik anak yatim adalah refleksi
kesombongan-diri. Merasa diri lebih baik. Dan Allah menolak kesombongan. Oleh
sebab itu, mereka yang sombong dan bakhil -seperti kata Hamka- dengan
menghardik anak yatim sebagai simbolisasi, patut diucap sebagai "pendusta
agama".
Ayat selanjutnya menjelaskan mengenai
"menolak memberi makan orang miskin". Ini juga penting sebab
mengindikasikan adanya distribusi kekayaan di antara umat Islam. Mereka yang
menolak menyalurkan kekayaannya untuk orang miskin termasuk yang mendustakan
agama. Karena dia mengaku menyembah Tuhan,padahal hamba Tuhan tidak
diberinya pertolongan dan tidak dipedulikannya.
Dalam
surah al-hujurat ayat 13 yang berbunyi :

Artinya
: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu ialah
orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungghuhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal. Q.S Al-Hujurat:13
Dalam surah diatas, dijelaskan bahwa
kedudukan semua manusia antara laki-laki maupun perempuan itu sama di mata
Allah. Namun orang yang mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.
Implikasi dari tauhid adalah menegakkan
keadilan di segala bidang. Al-Ma'un bicara soal ekonomi. Mereka yang menolak
memberi makan orang miskin, padahal ia memiliki harta-benda yang bisa
meringankan penderitaan orang miskin. Mereka yang kemudian menolak
mendistribusikan kekayaannya dengan tidak mau memberi makan orang miskin,
berarti menolak visi keadilan yang Islam tawarkan.
2Az-Zamakhsyari
menulis dalam tafsimya, mengapa orang yang menolak memberi makan orang miskin
dan menolak anak yatim dikatakan mendustakan agama. Kata beliau:
"Orang ini nyata mendustakan agama. Karena dalam sikap
dan laku perangainya dia mempertunjukkan bahwa dia tidak percaya inti
agama yang sejati, yaitu bahwa orang yang menolongsesamanya yang lemah akan
diberi pahala dan ganjaran mulia oleh Allah. Sebab itu dia tidak mau berbuat ma'ruf
dan sampai hati menyakiti orang yang lemah".
Menolak
memberi makan orang miskin adalah cermin dari mereka yang zalim, menindas orang
lain. Al-Qur'an sendiri melarang kezaliman, melarang penindasan manusia atas
manusia. Jelas, pesan dari ayat ini adalah menentang penindasan dengan
perbuatan menolak memberi makan orang miskin, menghalangi haknya untuk tetap
hidup dan mendapatkan makanan yang layak.
Ayat berikutnya, dengan lebih lantang,
mengatakan pada kita: “Maka celakalah orang-orang yang salat!”. Bagaimana
mungkin, pengabdian seorang muslim, melalui shalatnya kepada Allah, disebut
sebagai perbuatan yang tidak hanya sia-sia, tapi juga mencelakakan?


Artinya:
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat(4). (Yaitu) orang-orang yang
lalai dari shalatnya(5). Q.S Al-Maa’un : 4-5
Buya Hamka menafsirkan bahwa
"lalai" berarti shalat tanpa diikuti oleh kesadaran sebagai hamba
Allah. Kata Buya Hamka: "Saahuun; asal arti katanya ialah lupa. Artinya
dilupakannya apa maksud sembahyang itu, tidak didasarkan atas pengabdian kepada
Allah, walau ia mengerjakan ibadah. Ibadah tanpa kesadaran, adalah sebuah
kelalaian, begitu tafsir Buya Hamka. Kesadaran penting, manakala kita melakukan
pengamalan atas niat beribadah itu.
Dalam
surah al-ankabut ayat 45 yang berbunyi :

Artinya:
Bacalah apa yang telah di wahyukan kepadamu, yaitu alqur’an dan dirikanlah
shalat. Sesunngguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Dan
sesungguhnya mengingat Allah(Shalat) adalah lebih besar keutamaan nya dari pada
ibadah-ibadah lain. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Q.S
Al-Ankabut : 45
Dalam surah al-ankabut ayat 45 di atas, di
jelaskan bahwa sesungguhnya melaksanakan shalat itu mencegah dari perbuatan
keji dan mungkar. Kaitannya jika ibadah tanpa kesadaran bisa saja tergolong
membuat perbuatan keji dan mungkar.


Artinya: Orang-orang yang berbuat riya (6). Dan enggan
menolong (dengan barang yang berguna)(7). Q.S Al-Maa’uun : 6-7
Mereka yang berbuat riya' berarti menodakan
niat ikhlasnya pada sesuatu yang bukan pada Allah menisbatkan sesuatu yang
seharusnya dipersembahkan pada Allah -shalat, ibadah justru kepada benda
ciptaan Allah. Shalat dalam kerangka ini hanya membawa kecelakaan. Kata Buya
Hamka, kadang-kadang dia menganjurkan memberi makan fakir miskin, kadang-kadang
kelihatan dia khusyu' sembahyang; tetapi semuanya itu dikerjakannya karena
ingin dilihat, dijadikan reklame. Dalam bahasa yang lebih moderen, shalat hanya
dijadikan citra untuk kekuasaan, untuk amal keduniaan.
Menolak memberi pertolongan adalah bentuk
kezaliman yang lain lagi. Orang-orang yang mendustakan agama selalu mengelakkan
dari menolong. Sebab, kata Buya Hamka, tidak ada rasa cinta di dalam hatinya.
Yang ada ialah rasa benci! Memberi pertolongan adalah wujud kemanusiaan. Dan
menolak memberi pertolongan, membiarkan orang lain dalam kesusahan, melawan
hakikat kemanusiaan.
Riya', kata Buya Hamka, adalah simbol
kebohongan dan kepalsuan, sementara menolak memberi bantuan adalah simbol
individualisme dan kezaliman. Dua-duanya, adalah refleksi pendusta-pendusta
agama. Sehingga, wajar jika Sayyid Quthb dalam tafsirnya menyebut bahwa
Al-Ma'un memperlambangkan pertemuan dimensi sosial dan ritual agama. Ini
menunjukkan bahwa agama pada hakikatnya bersifat transformatif, mewujud ke
seluruh sel-sel kehidupan nyata.
B. TEOLOGI
AL-MA’UN
Surah Al-Ma'un memberikan pesan yang
mendalam bagi kita untuk tidak melupakan realitas kemanusiaan, tidak melupakan
orang-orang miskin, anak-anak yatim, mereka yang perlu pertolongan, mereka yang
terpinggirkan. Mengamalkan surah Al-Ma'un bukan berarti hanya membaca ayat ini
berulang-ulang, di shalat-shalat fardhu, ketika sedang
ber-tadarrus Al-Qur'an. Mengamalkan Al-Ma'un berarti mendudukkan ayat ini
dalam praksis tindakan.
Dengan ayat ini, Islam menjadi hidup tidak
hanya pada tataran ritual, tetapi juga pada tataran sosial. Islam menjadi
bersifat dinamis, transformatif. Ia bukan hanya prasasti yang hanya berisikan
tulisan-tulisan yang hanya dibaca oleh orang-seorang, tetapi juga hidup sebagai
etika sosial.
Seperti kata Nabi, "ad-diinu
nashihah". Agama adalah nasehat! Al-Ma'un memberi sebuah penyemangat untuk
terus mendudukkan Islam dalam posisinya yang dinamis, di atas
intelektual-sosial-kritis. Teologi Kritis Al-Ma'un ingin menghidupkan kembali
semangat agama yang membebaskan dan mencerahkan, dalam realitas sosial secara
nyata. Di awal kelahirannya, Islam dilanda gersang akan ijtihad dan dobrakan
amal sosial. Syekh Muhammad Abduh sampai mengatakan, "Al-Islam mahjuubun
bil muslimin". Islam itu tertutup oleh kaum muslimin itu sendiri.
Teologi Al-Ma'un menginspirasi perkembangan
sebuah gerakan sosial Islam. Al-Ma'un menjadi panduan praksis gerakan sosial
Islam. Sebuah ayat yang menyindir para kapitalis, yang hanya mementingkan diri
untuk kapital semata. Jika engkau ingin menindas orang lain, dalam
praktik-praktik akumulasi modal dan motif ekonomi, sesungguhnya: engkau adalah
pendusta agama! Sebuah kritik tajam kepada pemodal yang tak memedulikan
lingkungan sosialnya. Al-Ma'un adalah inspirasi intelektual yang kritis.
Menjadi intelektual Al-Ma'un berarti menjadi intelektual yang memiliki
keberpihakan kepada kaum tertindas, bukan menjadi mereka yang hanya
melegitimasi sistem korup. Inilah potret intelektual , intelektual yang punya
keberpihakan terhadap anak yatim, orang-orang miskin, dan mereka yang
terpinggirkan dengan alat baca sosial yang kritis.
3Semangat intelektualisme dalam
bingkai teologi Al-Ma'un dapat kita baca dalam kerangka berpikir Prof.
Kuntowijoyo: bahwa Ilmu sosial tidak berhenti hanya pada upaya menjelaskan fenomena
sosial. Ilmu Sosial etik, Ilmu Sosial Al-Ma'un, berarti juga setidaknya
memiliki dimensi kritis, mampu meletakkan diri dengan keberpihakan kepada
mereka yang terpinggirkan oleh struktur sosial-politik, serta membongkar
realitas secara menyeluruh.
4 Teologi Al-Ma'un juga perlu
dimaknai dalam kerangka struktural, sebab penindasan itu juga bersifat
struktural. Upaya-upaya pembelaan perlu digalakkan melalui masyarakat sipil
dengan advokasi dan pemberdayaannya. Teologi Al-Ma'un berarti advokasi atau
disebut juga pembelaan atas hak-hak masyarakat yang terlupakan oleh negara.
Dalam konteks gerakan sosial, Al-Ma'un harus
terus didukung oleh gerakan-gerakan Islam sebagai sebuah fondasi teologis.
Inilah yang membuat agama hidup. Agama secara normatif bukan sekadar ritual
yang mengalienasi manusia dari realitas sosialnya, bukan juga candu bagi
rakyat, melainkan juga semangat juang dan semangat untuk
membebaskan dhu'afa dari ketertindasan.
Inilah teologi Al-Ma'un, landasan bagi
gerakan sosial Islam. Dan dimensinya yang universal menembus batas jama'ah,
menembus batas ormas, bahkan menembus batas-batas agama.
3Syahminan
zaini,Drs. 1981. Perjanjian Ketuhanan.hlm167
4Yunan
yusuf, M, Prof, Dr. 1972. Alam Pemikiran
Islam Pemikiran Kalam..hlm 73
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Surah Al-Ma'un memberikan pesan yang mendalam bagi kita untuk tidak
melupakan realitas kemanusiaan, tidak melupakan orang-orang miskin, anak-anak
yatim, mereka yang perlu pertolongan, mereka yang terpinggirkan. Surah Al-Maun
mengajak kita untuk saling bergotong royong dalam hal dunia maupun akhirat.
Begitu juga hal nya dalam masalah kehidupan, arti kehidupan itu sendiri di
maknai dalam surah Al-Ma’un. Bahwa kita sesama manusia harus saling tarik
menarik dalam menuju ketaqwaan kepada-Nya.
B. SARAN
Lihatlah orang diatas kamu agar kamu lebih termotivasi untuk meraihnya.
Dan kemudian jangan lupa lihatlah orang yang berada dibawah kamu agar kamu
lebih bersyukur.
DAFTAR
PUSTAKA
Syahminan
zaini,Drs. 1981. Perjanjian Ketuhanan.
Jakarta. Usaha Offset Printing.
Izutsu
Toshika. 1966. Etika Beragama Dalam
Al-Qur’an. Jakarta. Pustaka Firdaus.
Yunan
yusuf, M, Prof, Dr. 1972. Alam Pemikiran
Islam Pemikiran Kalam. Malang. Raja Grafindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar